OPINI - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyebut generasi milenial mendominasi pemilih pada Pemilu 2024 dengan jumlah 68.822.389 orang atau 33, 60 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT). Sedangkan Gen Z sebanyak 46.800.161 orang, 22, 85 persen (Antara, Minggu 2/7).
Generasi milenial atau generasi Y adalah generasi yang lahir sekitar tahun 1980 hingga tahun 1995. Sedangkan Generasi Z adalah generasi yang lahir sekitar tahun 1997 hingga tahun 2000-an. Salah satu persamaan dari kedua generasi ini adalah mereka sudah melek teknologi.
Jika digabung antara pemilih dari generasi milenial dan Gen-Z, maka suara pemilih dari 2 generasi ini mendominir keseluruhan suara pemilih yaitu sebesar 56, 45 persen. Kedua kelompok generasi ini adalah generasi usia produktif dengan rentang usia 17 - 43 tahun di saat pemilu 2024 berlangsung.
Elit-elit partai di tingkat nasional sebagian besar adalah berada pada kelompok generasi X, berusia 44 tahun keatas. Jika kita amati dinamika politik dan deal-deal politik yang dilakukan beberapa waktu belakangan ini seringkali diputuskan hanya di tingkat elit partai.
Baca juga:
Belanja Daerah yang Efektif di Masa Pandemi
|
Seringkali kita mendengar ungkapan dari para pakar di bidangnya, bahwa indonesia diuntungkan dengan bonus demografi sebagai landasan yang kuat untuk menjadi sebuah negara yang maju kedepannya.
Pertanyaannya kemudian, kenapa elit-elit partai politik kurang mendengarkan aspirasi kaum millenial dan Gen-Y ini dalam membuat keputusan politik? Bukankah kita sudah sepakat bahwa penerus bangsa ini kedepan adalah mereka?
Baca juga:
Mudik dan Ekonomi Kerakyatan
|
Seperti yang disampaikan sebelumnya, bahwa suara pemilih generasi milenial dan Gen-Y terbesar dibandingkan kelompok pemilih usia lainnya. Maka seyogyanya, suara-suara kelompok generasi ini perlu didengarkan, termasuk dalam menentukan suksesi kepemimpinan kedepan.
Apabila suara dan aspirasi mereka kurang didengarkan, kekuatiran timbulnya apatisme dan berkurangnya tingkat partisipasi generasi muda dalam menyalurkan hak politiknya bisa terjadi. Jika ini terjadi, tentunya tidaklah mencerminkan peningkatan dalam proses berdemokrasi.
Ditulis oleh: Indra Gusnady, S.E, M.Si